- Back to Home »
- Hiburan »
- Kritik untuk “Prabu Wijaya” dan “Petualangan Panji”
Senin, 02 Mei 2011
Tentang Sinetron “Drama”
Seorang pimpinan produksi acara RCTI pernah beralasan mengapa RCTI ‘setia’ dengan produksi sinetronnya, karena meyakini bahwa satu hal yang tidak pernah dibosani dalam kehidupan manusia adalah cerita-drama. Prinsipnya saya setuju dengan pandangan ini, tetapi setting “cerita” yang bagaimana yang dulu sehingga tidak dibosani. Terus terang, saya amat bosan dengan kalau melihat sinetron-sinetron “dramatis” buatan RCTI, SCTV, Indosiar dan TV lainnya. Tapi masih mending terobati dengan adanya FTV, yang ceritanya segar alamiah dan tidak terlalu ‘dramatis’. Seandainya sinetron ‘drama’ itu tetap punya rating tinggi, menurut saya memang masyarakat yang kurang peka saja dan terlanjur masuk ke dalam buaian ‘drama’ yang terkadang mereka akui alurnya menjengkelkan.
Sinetron ‘drama’ bagi saya tetap oke untuk ditampilkan. Tetapi yang bagaimana dulu!! Beberapa hal yang menjadi menjadi kritik saya akan sinetron-sinetron drama adalah tentang penciptaan tokoh-tokohnya dan alur critanya.
Pertama, haruskah selalu ada prota-antagonis?
Sinetron-sinetron di RCTI-SCTV ini terlalu mengeksplor dengan ekstrim sisi “anta-protagonis” tokoh-tokohnya seperti Prabu Wijaya versus Irfan, Fitri versus Miska, dst. Seolah-olah memberi pesan bahwa seperti itulah kenyataannya manusia dalam kehidupannya. Kalau ada yang meyakini bahwa harus selalu ada tokoh protagonis dan antagonis, saya terang-terangan tidak setuju!!
Pertama, haruskah selalu ada prota-antagonis?
Sinetron-sinetron di RCTI-SCTV ini terlalu mengeksplor dengan ekstrim sisi “anta-protagonis” tokoh-tokohnya seperti Prabu Wijaya versus Irfan, Fitri versus Miska, dst. Seolah-olah memberi pesan bahwa seperti itulah kenyataannya manusia dalam kehidupannya. Kalau ada yang meyakini bahwa harus selalu ada tokoh protagonis dan antagonis, saya terang-terangan tidak setuju!!
Seharusnya tokoh-tokoh dalam sinetron itu tidak berisi “setan-setan” dan “malaikat-malaikat”
Padahal, kalau kita cermati sesungguhnya hampir secara keseluruhan manusia itu tidak pernah menjadi “antagonis” dan “protagonis” se-ekstrim yang digambarkan sinetron. Bahkan maaf, penjahat dan para kriminal yang memenuhi lembaga pemasyarakatan pun. Dalam kehidupan nyata, manusia jarang yang bermusuhan dengan begitu intens, frontal dan fokus terhadap seseorang, justru kebanyakan orang bermusuhan dengan “tingkah laku buruk” dirinya, ruang dan waktu yang salah, dan “nasib jelek” dirinya,
Sebenarnya “cerita itu hidup” dan munculnya “konflik” manusia itu BERAWAL dari kepentingan satu sama lain yang berbenturan, bukan karena ada jiwa “syetan” yang berlawanan dengan jiwa “malaikat”. Dalam hal ini saya sepakat dengan Deddy Mizwar dengan Para Pencari Tuhannya hingga 4 jilid di SCTV saat Ramadhan, di mana dia mencoba menuangkan bahwa tidak ada “malaikat-malaikat” dan tidak ada “syetan-syetan” dalam tokoh-tokoh sinetronnya itu. Sehingga ceritanya nampak asyik dan alami.
Kedua, alur cerita yang "terlalu nampak" sengaja dibuat-buat
Setiap cerita ada ujung dan akhirnya, terserah orang puas ataukah tidak, terserah happy ending atau tidak, yang jelas semua cerita akan menemui ujungnya. Itulah "kata kunci" bagi penulis cerita sehingga orang terasa seolah disuguhi cerita "sesungguhnya". Ketika melihat sinetron, film, drama, dst orang sadar bahwa yang dilihatnya hanyalah cerita. Tapi apakah cerita itu "terasa nyata" atau tidak amat tergantung dari penulisan cerita dan bagaimana cerita itu berakhir. Seorang penulis dan produser, harus "rela" menyudahi cerita sinetronnya, sekalipun ratingnya lagi tinggi-tingginya. Sebab di situlah perasaan benar-benar disuguhi "cerita nyata" dirasakan penonton, apalagi ceritanya mengalir dan berakhir tidak wajar, sekalipun tidak happy ending.
Sebenarnya RCTI, pernah juga menampilkan sinetron semacam ini di tahun 1999-an yaitu “Cinta” (Ketika Cinta Harus Memilih) karya Mira W, kalau tidak salah, disutradarai Maruli Ara. Waktu itu, pemain utamanya adalah Primus Yustisio, Desy Ratnasari, Atalarik Syah. Sinetron itu begitu mengasyikkan karena konflik-konflik yang terjadi sepanjang sinetron itu tidaklah “berasal” dari watak jahat tokoh-tokohnya, tetapi “bermula” dari kepentingan-kepentingan dari masing-masing tokoh yang bersinggungan dan berbenturan. Kalau dicermati, nyaris tidak ada yang ditokohkan “superjahat/syetan” ataupun “superbaik/ malaikat” di sinetron itu. Semua tokoh tampil layaknya umumnya manusia yang punya kekurangan-kelebihannya masing-masing. Coba lihat saja, bagaimana Haris-Rini-adik Haris-Sukma-Ibu Haris dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka menggambarkan umumnya manusia di sekitar kita, tetapi karena penulis begitu pandai menciptakan “cerita” yang mengasyikkan, yaitu seorang kakak-beradik yang menyukai satu gadis yang sama, dan ibunya pun harus ‘memilih’ membela sang adik yang sakit-sakitan. Sang kakak mengalami konflik ‘internal’ begitu dahsyat, di mana di satu sisi dia menyayangi adiknya tapi di sisi lain dia sangat mencintai sang gadis (kekasih adiknya itu), begitu seterusnya.... cerita mengalir begitu rupa hingga ending klimaks yang memuaskan.
Setiap cerita ada ujung dan akhirnya, terserah orang puas ataukah tidak, terserah happy ending atau tidak, yang jelas semua cerita akan menemui ujungnya. Itulah "kata kunci" bagi penulis cerita sehingga orang terasa seolah disuguhi cerita "sesungguhnya". Ketika melihat sinetron, film, drama, dst orang sadar bahwa yang dilihatnya hanyalah cerita. Tapi apakah cerita itu "terasa nyata" atau tidak amat tergantung dari penulisan cerita dan bagaimana cerita itu berakhir. Seorang penulis dan produser, harus "rela" menyudahi cerita sinetronnya, sekalipun ratingnya lagi tinggi-tingginya. Sebab di situlah perasaan benar-benar disuguhi "cerita nyata" dirasakan penonton, apalagi ceritanya mengalir dan berakhir tidak wajar, sekalipun tidak happy ending.
Sebenarnya RCTI, pernah juga menampilkan sinetron semacam ini di tahun 1999-an yaitu “Cinta” (Ketika Cinta Harus Memilih) karya Mira W, kalau tidak salah, disutradarai Maruli Ara. Waktu itu, pemain utamanya adalah Primus Yustisio, Desy Ratnasari, Atalarik Syah. Sinetron itu begitu mengasyikkan karena konflik-konflik yang terjadi sepanjang sinetron itu tidaklah “berasal” dari watak jahat tokoh-tokohnya, tetapi “bermula” dari kepentingan-kepentingan dari masing-masing tokoh yang bersinggungan dan berbenturan. Kalau dicermati, nyaris tidak ada yang ditokohkan “superjahat/syetan” ataupun “superbaik/ malaikat” di sinetron itu. Semua tokoh tampil layaknya umumnya manusia yang punya kekurangan-kelebihannya masing-masing. Coba lihat saja, bagaimana Haris-Rini-adik Haris-Sukma-Ibu Haris dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka menggambarkan umumnya manusia di sekitar kita, tetapi karena penulis begitu pandai menciptakan “cerita” yang mengasyikkan, yaitu seorang kakak-beradik yang menyukai satu gadis yang sama, dan ibunya pun harus ‘memilih’ membela sang adik yang sakit-sakitan. Sang kakak mengalami konflik ‘internal’ begitu dahsyat, di mana di satu sisi dia menyayangi adiknya tapi di sisi lain dia sangat mencintai sang gadis (kekasih adiknya itu), begitu seterusnya.... cerita mengalir begitu rupa hingga ending klimaks yang memuaskan.
Tentang “Petualangan Panji”
Petualangan Panji sering kita lihat nongol di GlobalTV. Dan tentu bisa Anda tebak, apa yang sering muncul dan akhirnya “membosankan” sekali dari cerita Panji ini?! Tidak lain dan tidak bukan adalah pertunjukkan Panji menjinakkan ular atau reptil lain. Anehnya, backgroundnya apapun intinya selalu tidak jauh dari ‘atraksi’ itu. Padahal bukankah sangat banyak yang bisa dieksplor dari alam ini?!! Mungkin untuk memperbaiki daya tarik tayangan ini adalah bisa mengadopsi dan menggabungkan konten “Jejak Petualangan” dan “Jejak-jejak Misterius” dari Trans 7 sekaligus “Realigi” Trans TV.
Padahal bukankah sangat banyak yang bisa dieksplor dari alam ini?
Pertama, dari “Jejak Petualangan” bisa dicontoh obyek-obyek yang bisa dieksplor, biar tidak ular melulu. Bisa bagaimana memilih buah-buahan, daun-daunan dan sebagainya yang aman dimakan di tengah belantara. Bagaimana tidur dengan aman di rimba sehingga terbebas dari gangguan binatang-binatang, dst.
Kedua. Aktor dalam “Jejak Petualangan” ini terlalu tunggal. Ini jangan dicontoh. Nanti kesannya petualangan itu nampak amat tidak riil, karena "menyembunyikan kru” yang tidak karuan seperti apa konstribusinya dalam ‘petualangan’ itu. Bukankah sorot kamera itu membuktikan bahwa sang tokoh tidak sendirian. Jadi masukkan aja sekalian, kru termasuk kameramen menjadi bagian "petualang-petualang" alam ini.
Kedua. Aktor dalam “Jejak Petualangan” ini terlalu tunggal. Ini jangan dicontoh. Nanti kesannya petualangan itu nampak amat tidak riil, karena "menyembunyikan kru” yang tidak karuan seperti apa konstribusinya dalam ‘petualangan’ itu. Bukankah sorot kamera itu membuktikan bahwa sang tokoh tidak sendirian. Jadi masukkan aja sekalian, kru termasuk kameramen menjadi bagian "petualang-petualang" alam ini.
Dari “Jejak-jejak Misterius” dan “Realigi” bisa diambil bagaimana kru ikut “masuk” ke dalam acara, sehingga kesannya ‘masalah’ dan ‘petulangan’ begitu nyata dan terasa. Kalau toh harus tetap mengangkat ‘ketokohan’ seseorang seperti Panji, keberadaan kru ini tetap bisa disetting sehingga tidak menenggelamkan ketokohan Panji.
Bayangkan betapa serunya, kalau sampai ada reality show hidup survive di rimba, dengan berbagai macam keadaan yang dihadapi!! Bagaimana sang petualang beserta segenap krunya berjibaku mengatasi, menghadapi, menundukkan dan menikmati keadaan.
Bayangkan betapa serunya, kalau sampai ada reality show hidup survive di rimba, dengan berbagai macam keadaan yang dihadapi!! Bagaimana sang petualang beserta segenap krunya berjibaku mengatasi, menghadapi, menundukkan dan menikmati keadaan.
Setuju ma komentar penulis tuk petualangan panji. yang laen aku ga baca, hehehe.......
BalasHapusPetualangan harusnya melibatkan kru. Cara bertahan hidup di alam. dan berbagai Teknik yang mesti dilakukan bia di alam bebas... :)